Serang, “Kota Seribu Alun-alun”

Serang, “Kota Seribu Alun-alun”

Oleh : Bef Abda Palawijaya

Terdapat sejumlah kota dengan julukan “seribu”. Klaten di Jawa Tengah dikenal sebagai Kota Seribu Candi, ada Singkawang Kota Seribu Wihara dan Lombok Kota Seribu Masjid. Ini julukan kota yang dikaitkan dengan bangunan, adapula yang dikaitkan dengan berkah alam seperti Jember Kota Seribu Bukit, Pacitan Kota Seribu Gua dan termegah Banjarmasin si Kota Seribu Sungai. Masih pula bisa disebut Tangerang Kota Seribu Industri dan seolah tidak mau ketinggalan Kota Serang hendak mentahbiskan diri sebagai Kota Seribu Alun-alun.

Tentu saja kalimat ini bersifat hiperbolis, tetapi memang sungguh gagasan membangun alun-alun yang tersebar di setiap kecamatan telah dimasukan ke RPJMD Kota Serang 2019-2023. Pertanyaannya adalah apakah pantas alun-alun sejumlah itu? Ah, rasanya pertanyaannya perlu ditingkatkan agar memiliki parameter jelas—karena parameter merupakan hal mutlak digunakan dalam strategi pembangunan kawasan dan pengambilan kebijakan public—jadi pertanyaannya: perlukah Kota Serang memiliki 7 alun-alun ?

Alun-alun : Dari Sakral ke Kemegahan

Alun-alun Kota Serang berada di pusat kota seakan malu-malu karena tak megah, tak pula berkonsep, maklum saja hasil warisan Kabupaten Serang. Tetapi letaknya tepat, di antara sejumlah lajur jalan dan memutar arus. Kabar baiknya pada tahun ini Alun-alun Kota Serang bakal direvitalisasi, itupun dengan sokongan dana Provinsi Banten. APBD Kota Serang merasa megap-megap dengan dana revitalisasi. Walikota Serang telah menunjukkan ke publik desain gambar alun-alun Kota Serang yang dilengkapi jembatan hubung melengkung nan indah. Desain ini telah tersentuh suatu arah konsep penggunaan alun-alun sehingga bakal lebih mampu menjadi magnet kunjungan masyarakat Kota Serang. Tetapi alun-alun bukanlah destinasi pariwisata yang menjadikan kunjungan masyarakat sebagai parameter utama alasan revitalisasi.

Kehadiran alun-alun pada masa lalu—jauh sebelum kemerdekaan—di era monarchi, berhubungan dengan fungsi governing. Di alun-alun-lah sang raja bisa bertatap muka langsung dengan rakyatnya sebagaimana masih dilakukan di Kesultanan Yogyakarta saat ini, ada ritual pisowanan agung. Alun-alun menjadi ruang  gelar formasi para manggala yudha, alun-alun merupakan ruang sakral (bukan suci) yang dipenuhi simbol kerajaan-kekuasaan untuk menggelar ritual masal keagamaan.

Keberadaan alun-alun di setiap kota di seluruh penjuru nusantara juga memiliki hubungan dengan tradisi para baron, landlord, el prince di Eropa sana yang terbawa hingga daerah-daerah koloninya.  Jejak ini dapat dijumpai pada formasi ruang di setiap alun-alun yang selalu bersanding simetris dengan masjid agung dan kantor pemerintahan daerah (pendopo karesidenan).

Di Eropa masa lalu, keberadaan tanah luas di depan bangunan tinggi, kastil, adalah simbol kebangsawanan. Kediaman seorang bangsawan ditandai dengan hamparan tanah rumput luas, rapi terawat. Kemampuan merapikan rumput dan penataannya menandakan bahwa mereka memiliki kekuatan ekonomi (Noah Harari,2015). Bangsawan yang menjelang bangkrut akan terlihat dari rumput-rumput di halamannya yang terlihat tidak rapi, tidak sangup membayar upah pegawai. Konsep rumput-taman di depan rumah-rumah ala Eropa itu teradopsi ke semua model tata perumahan di Indonesia. Meskipun di perumahan itu hanya sepetak tanah, tetap disisakan bagian depan dengan suatu taman dan rumput hijau rapi menghias. Maka, alun-alun dan taman adalah simbol kebangsawanan dan kemapanan ekonomi.

Bagaimana di masa kini? Membangun alun-alun-alun harus didahului dengan konsep dan kajian agar parameter yang digunakan jelas. Dari parameter diterjemahkan menjadi konsep, dari konsep dideskripsikan menjadi DED atau gambar. Membangun alun-alun tidak cukup dengan survey tentang ordinat tanah. Jika hanya survey yang dilakukan maka sangat dimungkinkan bahwa pembangunan alun-alun merupakan modus pemerintah daerah melakukan belanja modal tanah: pembebasan lahan. Dan dapat pula dipastikan ordinatnyapun telah ditentukan sebelumnya. Survay menjadi alat dalil legitimasinya.

Antara Alun-alun Mini dan Pasar

Alun-alun bukanlah pusat perekonomian yang dengannya akan dihasilkan multiplier effect ekonomi lokal. Jika parameter yang hendak diacu adalah multiplier effect ekonomi sekitar, maka membangun pasar-pasar lokal  justru akan lebih memicu perdagangan. Logikanya sederhana saja, di alun-alun tidak terjadi distribusi barang, penjual dan pembeli bertemu dalam temporalitas, hanya untuk konsumsi. Dalam sudut pandang ekonomi, ini bukan trading tetapi transaksi. Perdagangan menyertakan pula distribusi (bahan pangan) dimana penjual dan pembeli bertemu dalam simultanitas, terus menerus. Sedangkan di sekitar pasar dapat dipastikan akan tumbuh pula kegiatan yang transaksional sebagai penunjang bagi para pelaku perdagangan dan pelancong. Jika membangun alun-alun beralasan soal geliat ekonomi, perdagangan kelas apa yang hendak disasar?

Di pasar-pasar, seberapapun kecil pasar tersebut, agregat ekonomi dapat memasang “velocity” alias perputaran laju uang cash. Sedangkan jual-beli yang temporer baru bisa memasang “tingkat konsumsi” sebagai agregat. Manakala alun-alun disebar di setiap kecamatan, agregat manakah yang hendak dikejar?  tingkat konsumsi atau mendorong laju perputaran uang? Jumlah pedagang kaki lima di Kota Serang tercatat 2000an (APKLI, 2019) tersebar dari Royal, Rau, dan banten lama hingga sepanjang jalanan Kota serang, pedagang di stadion sekitar 350. Jadi, berapa jumlah pedagang kaki lima yang hendak dimunculkan di sekitar alun-alun mini kelas kecamatan yang biaya belanja lahannya dianggarkan Rp 4 M perkecamatan? Siapa yang akan berkonsumsi?

Alasan lain yang digunakan sebagai argumen pembenar untuk memasukan pembangunan alun-alun  ke program prioritas unggulan adalah “untuk memecah kunjungan ke alun-alun Kota, memecah masyarakat ke stadion agar kegiatan olah raga cukuplah di alun-alun kecamatan”. Alun-alun kecamatan juga didalilkan sebagai Ruang Terbuka Hijau. Lalu, berapa tingkat kunjungan masyarakat ke alun-alun Kota Serang? Selalu padat berjubelkah di sana sehingga perlu dipecah?. Apakah di stadion selalu bertubrukan jadwal kegiatan olah raga sehingga komunitas-komunitas pegiat olah raga tidak tertampung di stadion? Melalui observasi langsung dengan uji petik data kunjungan selama satu minggu ke alun-alun dan stadion, masyarakat dapat memastikan jawaban atas dalil ini. Falacious.

Konsep Ruang terbuka hijau merupakan kebutuhan bagi masyarakat urban yang udara dan huniannya dipadati polutan, keterbatasan ruang akses dan suplai udara segar. Maka ruang terbuka hijau itu bukan ruang kosong untuk upacara bendara 17 dan kegiatan masal sejenisnya, tetapi ruang publik yang berguna sebagai green ecosystem penunjang masyarakat urban berkegiatan secara sehat.

Penutup

Dalam kajian kawasan, alun-alun itu merupakan titik jumpa yang menghubungkan sejumlah dan memoderasi arus, seperti di Alun-alun Kota Serang. Itulah sebabnya alun-alun identik dengan bentuk cyrcle, bundar. Sedangkan ruang dan kelas jalanan di Kota Serang terutama di kecamatan-kecamatan belum menunjukkan perlunya moderasi. Sebagai contoh di Kecamatan Walantaka, urat jalan yang ada hanya jalan provinsi penghubung Ciruas-Pandeglang-Rangkas dan jalan Parung-Pandeglang di depan Polda Banten itu. Ditambah jalan kelas arteri negara yang melintang Ciruas-arah Pakupatan. Ada jalan kelas kota membentang  Petir-Serang  lewat depan Universitas Mathalul Anwar di Turus. Sisanya jalan yang susah dipapasi dua mobil tanpa roda mobil turun dari badan jalan. Sehingga perlu dikaji lagi apakah dasar penentuan ordinat alun-alun kelas kecamatan itu?. Masyarakat harus mencegah ordinat pesanan, karena menentukan ordinat adalah salah satu bentuk kebijakan public, belanja APBD yang parameter outputnya tidak terukur. Apakah argumen feasibility studinya memadai ataukah sekedar mengejar asal ada proyek mercusuar di kecamatan-kecamatan?

Semoga Alun-alun Kota Serang segera bersolek cantik dan dipadati masyarakat, agar dalil pemecahan konsentrasi masyarakat ke alun-alun mini kelas kecamatan itu masuk akal sehat.

Penulis adalah Inisiator Civic Society for Research and Strategic, Tinggal di Kota Serang

Bagikan:

1 Komentar

  1. Emang perlu, kerunya lamun ngedeleng uwong2 pada joging / lari pagi ning dalan umum, risi sebab wakeh motor lan mobil pada ngebut pada arep megawe atawa usaha liane, durung maning resiko polusi udarane sing knalpot2e. Kita mah ngedukung be, asal digawe tanpa korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *