Penulis : Dadang Handayani
Pengamat Sosial dan Praktisi Hukum
Beberapa hari ini, baik isu di media sosial maupun berita di televisi sedikit meredup, sepi tidak lagi mengangkat headline atau berita news terkait aksi penolakan lahirnya omnibus law yang diadopsi dari Rancangan Undang-undang cipta kerja.
Artinya sejak 5 oktober 2020 lalu omnibus law RUU cipta kerja resmi disahkan menjadi undang-undang. Drama pengesahan UU Ciptaker yang dihadiri 318 anggota DPR versus 257 anggota DPR yang bolos, jauh-jauh hari sudah ditolak buruh, namun mayoritas wakil rakyat di senayan ramai-ramai menyanyikan lagu tanda setuju, dan took…. usai sudah pembahasan RUU Cipta kerja menjadi undang-undang.
LAHIRNYA undang-undang cipta kerja, seolah mengguncangkan se-isi nusantara. Hampir di seluruh daerah jutaan buruh, mahasiswa, pelajar dan rakyat melakukan aksi demo. Dilaporkan, Aksi tersebut berakhir ricuh. Insiden ini tentu saja buntut dari aspirasi buruh yang tidak digubris dari sejak awal melakukan penolakan terhadap lahirnya undang-undang omnibus law. Puncak dari aksi ini, tak lain setelah rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan pemerintah menyepakati RUU Cipta Kerja disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna. Tujuh fraksi menyetujui, yaitu PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Sedangkan PKS dan Partai Demokrat menolak. Meski ditengah wabah pandemi coronavirus, pembahasan RUU Ciptaker tetap digelar kendati terbilang singkat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain.
Apabila menelisik apa itu omnibus law? Mau tidak mau kita dapat membedah bahwa UU ini lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di sektor ekonomi. Omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat. Sedikitnya ada tiga hal yang disasar pemerintah melalui omnibus law, seperti UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Dari berbagai macam literatur, setidaknya 74 UU diidentifikasi dan terdampak dari omnibus law.
Sejatinya konsep omnibus law cukup relevan, merupakan metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Maka, omnibus law inilah disebut-sebut sebagai undang-undang sapu jagat.
Begitupun dalam prosesnya, tak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya sebagaimana yang dibahas di DPR, yang terlihat adalah tegas mencabut isinya atau mengubah beberapa UU yang terkait. Sebut saja sektor ketenagakerjaan, sektor ini pemerintah berencana menghapus, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan. Selain itu, penghapusan skema pemutusan PHK, di mana terdapat penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Seperti dilansir dari berbagai sumber, dari jam lembur buruh lebih lama seperti yang tertuang dalam omnibus law Bab IV Pasal 78. Bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu. Nah dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 78 Nomor 1 poin b menyebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu, poin ini yang di protes buruh.
Kemudian cuti panjang karyawan, Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 79, menjelaskan secara detail soal cuti panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama, mengatur secara jelas istirahat panjang yang dibuat dalam beberapa poin khusus dua bulan pada tahun ketujuh hingga tahun ke delapan masing-masing satu bulan tiap tahunnya. Sedangkan di UU Cipta Kerja, peraturan cuti tahunan tak lagi diatur secara khusus, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pada sisi lain, melalui Kementerian Ketenagakerjaan pemerintah menjelaskan tidak akan ada penghapusan pesangon dalam omnibus law, tapi diatur implementasi antara pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Selain akan mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja, upah minimum tidak akan dihapuskan. Selain itu, tidak akan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha, artinya jika pengusaha melanggar hak-hak pekerja, diproses mulai dari sanksi administrasi hingga sanksi pidana.
Pemerintah meyakinkan bahwa akan mendorong adanya efisiensi dan debirokratisasi dengan memberikan kemudahan dan mempercepat proses perizinan berusaha, terutama bagi UMKM dan koperasi. Omnibus Law diklaim merupakan kekuatan pembuka pagar investasi sebesar-besarnya di Indonesia. Akan terdapat kemudahan dalam investasi, ekspor, pendirian usaha, pembiayaan dengan membuka akses perizinan yang mudah. Sasarannya UMKM naik kelas, dengan meningkatkan daya saing produk UMKM dengan standar global dan diterima pasar.
Silang sengkarut pasca diketoknya undang-undang Ciptaker, membuat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) beserta 32 federasi serikat buruh lainnya melakukan aksi mogok nasional. Aksi yang berangsung pada 6-8 Oktober 2020 lalu, adalah sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja. Aksi mogok nasional di 25 provinsi intinya menolak penghapusan Upah Minimum Sektoral dan pemberlakuan Upah Minimum Kabupaten/Kota bersyarat, pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Menolak PKWT yang menjadi kontrak seumur hidup, menolak Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan, jam kerja yang eksploitatif dan menuntut kembalinya hak cuti dan hak upah atas cuti.
“Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dilansir dari Kompas.
Kontra terhadap pengesahan undang-undang Ciptaker terus bergulir, para pakar, praktisi dan akademisi memberikan berbagai pendapat ihwal apakah omnisbus law dapat dibatalkan? Hal ini pun membuat masyarakat geram dan melakukan aksi unjuk rasa di berbagai daerah untuk memberikan dukungan terhadap aksi buruh. Sisi lain, pemerintah melalui para pembantunya terus meyakinkan bahwa undang-undang Ciptaker tidak ada yang mergikan kesejahteraan buruh, daya tawarnya jika ada Pasal yang tidak sesuai, jalur judicial review menjadi ruangnya.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis misalnya, dia berpendapat untuk membatalkan UU Cipta Kerja tidak bisa hanya digugat melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena isinya yang begitu kompleks. Jadi, apakah UU yang sudah sah ini bisa dibatalkan? Pasti bisa, namun tidak semua dapat dibatalkan hanya beberapa pasal saja yang bisa digugat. Sebab, jika semuanya mau dibatalkan, hal itu akan sulit.
“Begini, ini pemerintah sudah tahu nggak bakal bisa, sekitar 900 halaman, mau buat 900 gugatan? Begitu cara pikir mereka, mau bikin perkara berapa biji? Itu paling-paling 10 dikoreksi, karena pasalnya banyak. Mau uji berapa banyak? Satu pasal pun ada beberapa ayat. Maka harus jelas mana perkara yang mau digugat. MK bisa ujikan satu pasal, satu ayat, satu kalimat dan kata. Itu mau berapa ribu gugatan?”. Kelakar Margarito, seperti dikutip dari Jawa Pos.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai, omnibus law ciptaker bisa ditunda bahkan dibatalkan, tapi jika dibatalkan pemerintah akan kehilangan muka. Menurutnya secara resmi buruh bisa mengajukan uji materil atau uji formil ke MK. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga bisa membentuk eksekutif review. Dengan kata lain ada RUU yang ditunda karena kesiapan untuk menjalankan itu tidak memungkinkan. “Membatalkan boleh, lebih bagus, tapi pemerintah akan kehilangan muka setelah diketok kok dibatalkan. Ekseskutif review, Presiden membentuk tim yang independen dan obyektif, rasional, kompeten untuk menguji ini bagaimana seharusnya bersikap,” jelasnya.
Berbeda denga Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menurutnya tidak ada cara untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Intinya jika sudah diketok seperti ini, tidak ada lagi sama sekali cara untuk membatalkan. Namun, jika di atas kertas terdapat cara dengan mengeluarkan Perppu pengganti Undang-Undang.
“Perppu juga bukan membatalkan, tapi membuat materi muatan UU baru dalam bentuk Perppu menggunakan kekuasaan Presiden untuk mengeluarkan Perppu, ‘bila ada hal ihwal kegentingan memaksa’,” katanya.
Sebagai masyarakat tentu kita dapat melihat ada dua topik besar yang dipersoalkan, pertama prosesnya yang tidak partisipatif, tidak transparan, tidak dapat kajian luar biasa bagi publik. Kedua, subtansinya banyak kontoversial karena kurangnya komunikasi, kurang penjelasan. Dan lagi-lagi pemerintah dengan sepihak mengatakan ini bagus kok, ini penting kok, dan tentu saja karena sepihak maka tidak akan nyambung kalau publik tidak tahu isi dan apa alasannya. Berbeda jika semua dijelaskan ke publik, meski kita tahu omnibus law bagus.
Kini kita tidak tahu apakah cara untuk meredam tumpah ruah aksi masyarakat di seluruh sudut nusantara pemerintah dengan lapang dada akan menerbitkan Perpu sebagai pengganti undang-undang, karena itu dinilai salah satu cara yang efektif untuk menghindari terjadinya kerugian dari aksi yang lebih besar, atau pemerintah dengan segala kekuasannya meminta kepada buruh yang terlibat langsung didalamnya untuk menempuh cara konstitusi melakukan judicial review.
Masih ada waktu 30 hari sejak diketok DPR untuk ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, setelah pengesahan maka UU tersebut akan mulai berlaku secara otomatis. Kita setuju bahwa negara tidak boleh kalah oleh rongrongan yang akan mengganggu stabilitas keamanan, akan tetapi negara juga harus hadir untuk melindungi keselamatan warga negaranya, itulah salah satu fungsinya kita bernegara.
Saya tidak ingin berdebat ihwal Perpu versus judicial review, karena keduanya dapat dijadikan ruang untuk menyelesaikan aksi demonstrasi yang sudah kita saksikan bersama baik dilakukan di Ibu Kota Jakarta maupun di berbagai daerah. Kami hanya tidak ingin anak sekolah, emak-emak dan sebagian orang yang tidak tahu menjadi korban. Hak buruh harus diperjuangkan itu saya sepakat dan tentu mendukung untuk terus diperjuangkan, yang saya tidak sepakat aksi anarkis dari oknum penumpang gelap di aksi itu yang kemudian dibenturkan dengan aparat.
Kita tentunya tau negara kita sedang sakit menghadapi krisis akibat pandemi coronavirus. Mau kita, DPR tahan dulu palunya untuk mengesahkan undang-undang cipta kerja yang terdiri dari banyak versi, ada yang 905 Pasal, ada juga 1028 Pasal ada lagi 1052 pasal. Saya tidak peduli mau jutaan pasalpun, terserah! Akan lebih elegan dan terhormat apabila ketok palu dilakukan setelah pandemi coronavirus mereda, situasi ekonomi kita stabil silahkan mau tiap hari ketok palupun tak ada soal. Semua sudah terjadi, dan tinggal bagaimana kita menyikapi dari persepsi konstitusi, yaitu tentu dengan cara berhukum dan tidak melanggar hukum.