Indonesia Damai : Idul Fitri Bukan Kaifiat Politik

Indonesia Damai : Idul Fitri Bukan Kaifiat Politik

Oleh : Amas Tadjuddin

Penulis adalah Ketua Forum Kordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Banten dan Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul ulama (PWNU) Banten yang juga Sebagai Sekretaris Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang.

Memperhatikan dan mencermati situasi global saat ini sangat berpengaruh dan rentan provokasi terhadap masyarakat awam dan terbatas.

Isu perang dagang Amerika Serikat versus China bukan tema menarik diperbincangkan oleh petani dan masyarakat awam di pedukuhan yang jumlahnya jauh lebih besar dari masyarakat perkotaan, padahal perang dagang AS dengan China tersebut berdampak luas dan menimbulkan polarisasi negara-negara di dunia nyata semakin tendensius,meruncing, dan terbuka.

Amerika Serikat berebut pasar produk globalnya sudah sangat mengakar diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia sangat faktual tersaingi secara ketat oleh kreatifitas produk China yang merambah semakin nyata ke berbagai pelosok dunia juga termasuk Indonesia. hampir dipastikan hingga saat ini perang dagang AS-China bisa saja berpotensi memicu perang dunia lebih seru dan dapat menimbukan bencana kemanusiaan lebih dahsyat sehingga sangat sulit dikendalikan oleh siapapun.

Ketegangan ketegangan bersifat sporadis di arena global tidak mudah diketahui dan diselesaikan kapan akan berakhir, perang strategi, perang isu, tidak mustahil perang konfrontatif bersenjata dan kudeta politik kekuasaan termasuk Indonesia.

Perang dagang AS-China, tidak dapat dihindari pemanfaatan momentum pandemi covid-19 yang sedang melanda berbagai negara termasuk Indonesia, dan belum terlihat ada tanda tanda akan berakhir bahkan yang ada telah memicu ketegangan dan konflik baru antara masyarakat disatu sisi, dengan kebijakan pemerintah disisi yang lain.

Adalah pandemi Covid-19, dijadikan momentum (bernilai tinggi), setidaknya oleh masyarakat tertentu yang terbagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama, memandang bahwa covid 19 merupakan ujian Allah SWT, yang harus diterima apa adanya,sebagaimana pernah terjadi wabah thoun pada masa lampau di jazirah arabia.

Kelompok ini berkeyakinan bahwa Covid-19 adalah tanda kiamat sudah didepan mata, mengemas isu munculnya ad-Dukhon (kabut tebal) kiamat tanggal 15 Ramadlan viral di medsos.

Kelompok kedua, memandang pandemi covid 19 merupakan pemantapan fase perang, harus segera dipersiapkan, merekrut anggota baru, mencari dan mengumpulkan dana untuk membeli persenjataan perang dengan segala cara harus dilakukan tidak peduli walaupun menurut hukum adalah kriminal, yang penting “Gun and Money”, kelompok ini sudah banyak yang ditangkap oleh aparat kepolisian di Banten, Tasikmalaya, Batang, Surabaya, dan lain-lain.

Kelompok ketiga, momentum pandemu covid 19 dimanfaatkan untuk melakukan Serangan dalam berbagai bentuknya, jika dahulu sasaran penyerangan adalah Amerika Serikat dan sekutunya, produk produk “berbau” AS dikecam, tapi kini secara cepat beralih melakukan serangan kepada China, apapun isunya selalu dikaitkan dengan China.

Bahkan konflik di timur tengah seperti hancurnya suriah, bubarnya Iraq, pencaplokan tanah Palestina, krisis kemanusiaan di akibat konflik, meruncingnya isu Sunni-Syiah di Iran, di Arab Saudi dan lain lain yang diserang di Indonesia pada masa pandemi korona bukan AS tapi China.

Hal ini terlihat kasat mata nyata ada kelompok kelompok tertentu yang terus “menggoreng” gosong isu isu tersebut membuat menggiring opini dan narasi narasi propaganda untuk selalu menentang dan menyalahkan pemerintah dan aparat keamanan melalui isu China, termasuk melawan kebijakan pemerintah tentang upaya bersama cegah covid 19 bahkan menggunakan narasi keagamaan bercampur politisasi tebar kebencian kepada China.

Sekelumit contoh isu tenaga kerja di Morowali dari sekira 45 ribu total tenaga kerja hanya sekira 5 ribu tenaga kerja (kategori ahli) yang berasal dari China, sisanya tenaga kerja bangsa Indonesia, tenaga ahli China tersebut sedang alih teknologi industri nikel untuk kemajuan masa depan bangsa Indonesia.

Pemerintah dengan segala sumberdaya perangkatnya seharusnya mampu mensosialisasikan isu isu seperti TKA China Morowali dan TKA lainya dipastikan sampai kepada masyarakat secara baik dan benar, sehingga tidak boleh kalah oleh hasutan kelompok tertentu yang sudah nyata nyata membuat “gaduh” bangsa Indonesia.

Kaifiat shalat idul fitri adalah murni tata cara (fiqh) persholatan yang telah diatur lengkap oleh para ulama bukan kaifiat politisasi atau bukan tata cara berpolitik, apalagi soal shalat dijadikan isu untuk menyerang pemerintah, sungguh terlalu kelompok tersebut.

Akhirnya mengajak masyarakat senantiasa berakhlaq dan berbudaya, sopan dan santun agar bersama sama pemerintah, mengikuti kebijakan pemerintah dalam rangka memutus mata rantai covid 19, dan tidak mudah terhasut oleh kelompok “perang dan penyerang” sehingga Indonesia menjadi Sehat, Cerdas, Damai dan Bersatu.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *