Sejengkal Tanah Baduy Untuk Ibu Kota Negara

Sejengkal Tanah Baduy Untuk Ibu Kota Negara

Wagub Andika mendampingi Presiden Jokowi memasukan Tanah Kanekes. Foto Muchlis Jr – Biro Pers Sekretariat Presiden

Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq Warga Biasa yang tinggal di Banten

Awal pekan ini, Presiden Jokowi mencanangkan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur. Beliau mengundang seluruh Gubernur se Indonesia untuk hadir dalam acara dimaksud.

Setiap Gubernur membawa segumpal tanah dan sepancur air dari daerah masing-masing. Tanah dan air itu kemudian diserahkan oleh para Gubernur kepada Presiden, yang menuangkannya kedalam sebuah kendi besar.

Tanah dan air yang dibawa oleh para Gubernur dari provinsi masing-masing, kemudian disatukan dalam satu wadah berupa kendi besar. Tiga puluh empat macam tanah dan air se Nusantara bersatu di calon Ibu Kota Negara.

Dalam acara tersebut, Provinsi Banten diwakili oleh Bapak Wakil Gubernur Andika Hazrumi. Beliau membawa segumpal tanah yang diambil dari kawasan Wiwitan Baduy dan Keraton Surosowan.

Selain tanah, Wagub Banten juga membawa air yang bersumber dari Tirtayasa. Sumber air yang dulu dibangun pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa. Tanah dalam tembikar, air dalam kendi.

Atas prosesi tersebut, muncul beragam respon dan tanggapan. Ada yang menganggapnya sebagai sebuah terobosan sarat makna. Ada juga yang menuduh bahwa ritual itu sebagai bentuk klenik. Karenanya muysrik.

Saya tertarik untuk membincang persoalan ini secara lebih utuh dan menyeluruh. Saya menghindari larut dalam perdebatan ceplok-batok yang hanya akan berujung di sebatas debat kusir. Perilaku itu tidak produktif.

Bila prosesi mengumpulkan tanah dan air dalam satu kendi besar dituduh sebagai perilaku klenik dan karenanya musyrik, mari kita telaah praktek lain yang memiliki irisan; bahwa prosesi sekaligus bendanya dianggap “keramat”.

Olympiade merupakan kompetisi dan pesta olahraga terbesar di dunia. Diikuti oleh hampir seluruh negara. Dimulai sejak zaman kuno, hingga sekarang zaman modern.

Pada setiap penyelenggaraan Olympiade, selalu dimeriahkan dengan pawai api pada obor yang berasal dari Kota Olympia di Yunani, menuju lokasi acara, yang jaraknya kadang ribuan kilometer.

Sejatinya, sumber api itu banyak. Bisa dinyalakan dengan berbagai cara tanpa harus repot-repot membawanya secara estafet dari Yunani. Tapi memang pakemnya demikian.

Klenik? Tentu saja bukan. Itu adalah simbol, sekaligus pesan. Ritual membawa api Olympiade dari tanah Yunani merupakan upaya melestarikan jejak sejarah muasal pesta olahraga sejagat itu.

Vini, vidi, vici, yang menjadi jargon yang menunjukkan semangat dan sportivitas dalam bersaing dan bersaing, semakin menambah muruwah keberadaan api Olympiade, baik bagi atlet maupun official.

Mengagungkan api Olympiade tidak lantas bermakna bahwa para atlet dan official menjadi pemuja api dan menjadikannya sebagai sesembahan seperti dalam ajaran agama Majusi.

Contoh lain. Sebagian dari kita, memiliki dan mengoleksi benda pusaka. Wujudnya bermacam-macam. Satu diantaranya adalah senjata tajam berupa golok.

Benda pusaka kerap dianggap keramat. Karena dianggap keramat, kadang diperlakukan secara khusus dan istimewa. Misalnya disimpan ditempat yang aman, bersih, indah, dan sarat seni.

Bahkan pada waktu-waktu tertentu, dirawat dan dibersihkan, sembari dirapalkan doa-doa dan jampe. Rabiul Awal dan Muharram menjadi bulan pilihan untuk memandikan benda yang dianggap keramat ini.

Klenik? Tentu para pelaku dan pengkoleksi benda pusaka ini akan menolak bila dituduh demikian. Pastinya akan ada segudang argumentasi untuk menepis anggapan bahwa memandikan golok pada bulan Maulid atau Muharram adalah bentuk klenik.

Satu lagi contoh. Setiap jamaah umroh dan haji, selain mendamba mendapat maqam mabrur, juga menghendaki agar ibadahnya terlaksana dengan sempurna. Salah satu ciri sempurna adalah berhasil mencium hajar aswad.

Batu kecil yang diletakkan di bagian sudut Ka’bah itu, selalu diburu dan menjadi rebutan. Karena antrian panjang dan membeludak, jarang orang mendapatkan kesempatan untuk bisa menciumnya.

Padahal, ia hanyalah batu biasa, yang menjadi istimewa karena keberadaannya tidak terlepas dari perjalanan Rosulullah SAW. Aroma wangi yang terpancar bersumber dari minyak wangi yang setiap saat dioleskan oleh petugas.

Ketika melaksanakan umroh, saya berhasil memasukkan kepala kedalam lubang tempat hajar aswad diletakkan. Saat itu, kondisi sedang sepi karena jamaah tidak banyak. Bahkan saya berhasil lebih dari satu kali untuk mencium aromanya.

Karena tidak mudah untuk bisa menciumnya, maka kadang orang melakukannya dengan berbagai cara. Menyelinap, menyusup, menyikut, bahkan membayar jasa orang, untuk sebuah batu. Untuk sebuah ciuman.

Klenik? Pastinya bukan! Karena bagi orang yang berhasil menciumnya dengan perjuangan yang tidak ringan, memunculkan kepuasan tersendiri. Merasa mabrur. Merasa sempurna.

Tiga contoh diatas memiliki irisan yang sama; api obor, golok pusaka, dan hajar aswad. Api obor diarak, golok pusaka dimandikan, hajar aswad dicium. Ketiganya dimuliakan. Pemuliaan atas benda.

Tetapi, sikap pemuliaan tersebut sama sekali tidak dianggap dan dikategorikan sebagai bentuk klenik. Maka, apa bedanya dengan tindakan Presiden yang menyatukan tanah dan air dalam satu tempat?

Api obor, golok pusaka, hajar aswad, dan tanah serta air, yang diperlakukan demikian oleh manusia, merupakan bentuk simbol. Membaca dan memahami simbol itu tidak bisa secara tekstual dan kasat mata.

Sebuah simbol akan bisa diketahui dan dipahami dengan benar, bila kita mencecapnya secara kontekstual dan tersirat. Dua perkara ini sejatinya hanya dimiliki oleh kalangan linuwih. Bukan orang kebanyakan.

Api koq diarak? Golok koq dimandikan? Batu koq dicium? Tanah dan air, ngapain repot-repot bawa jauh-jauh dari Baduy, Surosowan, dan Tirtayasa? Seperti itulah celoteh lisan orang yang gagal dalam mencerna simbol.

Perkara arti, makna, dan filosofi dari sombol tanah dan air yang disatukan di IKN Nusantara oleh Presiden Jokowi awal pekan ini, penjelasannya sudah banyak terserak di berbagai media. Silakan cari dan baca!

Sederhananya, itu dimaksudkan sebagai cara untuk merekatkan dan mendekatkan Nusantara. Sekaligus memegang komitmen dan ikrar bersama untuk merawat dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Walau yang hadir hanya perwakilan tiap provinsi, komitmen dan ikrar itu menjadi pengakuan bersama. Bukan hanya pengakuan Gubernur dan atau Wakilnya saja. Tetapi mereka merupakan representasi warganya.

Bagi kita yang tidak hadir langsung di lokasi, ada baiknya menyimak lirik lagu dangdut yang dulu sempat dipopulerkan oleh Papa Mansyur S.

“Sejengkal tanah yang hilang, akan aku genggam. Begitu pula cintaku, akan kupertahankan. Sampai langit pun menjadi bumi. Atau bumipun menjadi langit”. Tarik Mang!

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *